Kabut asap membuat pemerintah Indonesia 'terpojok'
- 9 Oktober 2015
Kondisi kebakaran
hutan dan lahan yang berimbas ke ranah domestik hingga luar negeri
menyebabkan pemerintah Indonesia terpojok, menurut kalangan pegiat.
Rendi
Khasmi, pegiat dari Aliansi Gerakan Rakyat Riau melawan Asap,
mengatakan situasi di sejumlah provinsi di Sumatra dan Kalimantan sudah
sedemikian parah sehingga pemerintah Indonesia perlu meminta bantuan asing.“Situasinya sekarang sangat kritis. Di Pekanbaru saja, banyak warga yang terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ini sudah mendesak tidak, hanya di Riau, Jambi, Sumatra Selatan serta Kalimantan, tapi juga di negara-negara tetangga yang sudah terkena dampak kabut asap. Sudah sangat terpojok,” kata Rendi.
Hal itu diutarakannya setelah Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pihaknya meminta Singapura, Rusia, Malaysia, dan Jepang membantu memadamkan api di hutan dan lahan.
Pada Kamis (08/10), Kementerian Luar Negeri Thailand menyatakan prihatin dengan kabut asap kiriman Indonesia yang melanda sejumlah provinsi di bagian selatan negera tersebut.
Thailand prihatin
“Mereka menyampaikan concern mengenai dampak asap yang sudah sampai di beberapa provinsi di Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia,” ujar Luthfi Rauf, duta besar Indonesia untuk Thailand kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.Bulan lalu, Menlu Singapura menyatakan bahwa Indonesia menunjukkan perilaku yang "sangat tidak memikirkan keselamatan warga kami, dan warga mereka sendiri".
Kemudian, Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, telah mendesak Indonesia segera menindak pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, menyusul kembali ditutupnya sekolah-sekolah di negeri itu pada 5-6 Oktober akibat kabut asap yang semakin tebal.
ISPA
Desakan agar pemerintah Indonesia memadamkan kebakaran hutan dan lahan juga disuarakan Hendri, seorang warga Pekanbaru, Riau. Pria wiraswasta itu memiliki dua anak yang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).“Pemerintah harus cepat bertindak karena anak-anak kami bagaimana? Mereka tidak mendapat suplai oksigen. Mereka tidak bisa bermain seperti teman-temannya di Pulau Jawa dan Jakarta,” ujarnya seraya menangis.
Tabung yang dibelinya seharga Rp850.000 itu mengalirkan oksigen secara nonstop selama tiga jam. Setelah isinya habis, tabung itu harus diganti dengan biaya Rp35.000.
“Dokter mendiagnosa kedua anak saya kekurangan oksigen. Yang bungsu diberikan sedikit-sedikit karena daya tahan tubuhnya cukup kuat, sedangkan yang sulung tubuhnya lemah. Tidurnya pun sulit, napasnya tersengal dan kadang muntah,” kata Hendri.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah titik api di Sumatra dan Kalimantan masih mencapai ratusan, meski telah menurun selama sebulan terakhir.
siip
BalasHapus